#54 Conclusion

Conclusion







        Setelah beribu purnama, akhirnya speak up juga. Memastikan hal-hal yang buram. Menemukan sedikit pencerahan dari beberapa pertanyaan dan pernyataan. Membuka kata kunci, melebarkan pemahaman. Sekaligus tergerak penuh kesadaran. Walau setiap jawaban yang terucap tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Namun keraguan itu sedikit demi sedikit pudar diterpa angin sejuk lalu pergi dengan damai.

        "Kalau dia berubah, itu bukan salah dia, namun salah kamu sendiri, kenapa memulai hanyut dalam naif jika radarnya saja selalu terlihat jauh". Jarak memang sangat menyebalkan. Saat ini aku tidak menyukai jarak. Jarak bukan memisahkan kita, namun kita lepas karena alasan-alasan kita sendiri. Dan, sudah jelas, alasannya tidak berdasar dengan hati nurani. Komunikasi yang seharusnya bisa menghancurkan jarak. Namun sayangnya, egois menjadi pembatas komunikasi.

        Aku yakin, 100% yakin, masing-masing dari kita pernah kecewa. Yang jelas bukan hanya sekali, dua kali, namun mungkin lebih. Sama-sama tidak ber-ekspekstasi dengan hal apapun. Mungkin beberapa hal yang terjadi secara mendadak dan tak terduga. Namun, apapun adanya akan selalu 'balik' pada akhirnya. Kadang suka mikir, apa kita se-takdir itu ya. Sama-sama punya rasa yang sama untuk selalu disatukan walau banyak alasan perenggang.

        Bertahan. Itu adalah kata yang sering dilantunkan. Dalam hati, dalam doa, dalam harapan, dalam keikhlasan, dalam tiap detik, dalam beragam overthinking di jalanan. Selalu terpikirkan kata 'suatu saat, suatu saat, mungkin nanti, pasti akan tiba'. Tapi tak pernah tau kapan hari baiknya. Meski begitu, tak pernah melangkah mundur, hanya stuck, 'stuck with you'.

        Kita sedang menggambar mimpi-mimpi. Karena kita punya cara masing-masing untuk tumbuh. Penuh penghayatan untuk terus menghidupkannya. Dalam sebuah progress dan proses. Dalam manik-manik yang tertuju pada alam bawah sadar. Bukan tertawa tanpa alasan. Bukan tentang kesibukan tanpa kabar. Tapi tentang seberapa penting hal kecil dan sederhana. Karena tindakan tersebut membuat kita saling menghargai.

        Sadar ga sadar, kita pernah saling ngebutuhin. Sama-sama mengimplementasikan 3 kata ini, "tolong, maaf dan terimakasih". Sama-sama menemukan ambis dalam hal tertentu. Produktif tapi bukan hustle. Selalu dalam kalimat-kalimat positif, agar terus maju kedepan. Menggebrak rintangan dan dalam tahap fokus. Seperti ada gambaran kedepan. Itu adalah hal-hal baiknya. 

        Namun, sekarang lagaknya relation sudah diambang kehancuran. Maaf ya, speak up ku membuat kita 'selesai'. Hampir habis waktunya. Masa tenggang. Bukannya aku tak punya rasa sabar. Tapi apa yang harus aku genggam. Aku tidak tahu. Entah itu omongan atau sekedar kata-kata. Aku tidak mengerti. Aku selalu menunggu, mungkin hingga akhir hayatku. Karena nyatanya, kehilangan kamu itu, seperti kehilangan cahaya, gelap. 

        Kamu bilang kamu ga pernah meninggalkanku. Iya kamu bilang begitu. Tapi kemana, kemana kamu saat aku jatuh. Kemana kamu saat aku berada di hari lahirku. Bahkan kamu lupa. Kamu pernah bertanya kan, kapan tanggalnya. Aku benar-benar sedih saat itu juga. :( Maaf, aku mengingatnya. Dulu, aku pernah mengatakan disclaimer dengan baik-baik, 'jika ingin pergi, gpp kok, i thing people can stay and go as they want, tapi pamit dulu'. Pamit, agar aku bisa ikhlas dan tidak sedikitpun khawatir.

        Plis, terakhir, aku udah gapapa kok masa kemarin ditampar kehancuran, tapi plis tolong masa besokku jangan. Aku akan bekerja cerdas untuk hal apapun. Aku akan bernegosiasi dengan pikiran. Tapi jangan pernah menyenggol hati, karena disana sangat rentan. Aku tidak sedikitpun sembunyi. Aku juga tidak berlari. Aku tetap disini. Menunggu hal anggunnya. Karena yang selalu aku percaya, kamu itu obat, bukan penyakit.


Comments

Post a Comment