Usai
Mungkin ini emang akhirnya. Akhir yang baik-baik aja. Akhir yang terlihat tiada apa-apa. Akhir yang tiada kata penutup. Akhir yang hanya dalam ungkapan batin. Akhir kisah yang memang tiada hal luar biasa.
Bagiku, penantian ini terlalu panjang. Hanya buih. Terlihat sejenak lalu menghilang. Bukan, bukan kamu yang menghilang. Alur cerita kita yang menghilang. Arahnya tidak jelas. Kamu, aku, sama-sama bingung. Salah paham. Kok bisa gini ya.
Jika dulu, kata sefrekuensi itu emang ada. Namun mengapa, setelah dunia sedang membaik, dunia tidak rela kita terus bersama. Mengapa harus kita yang berjalan menentukan arah kita sendiri. Kita tidak punya kompas. Bukankah kerjasama akan membawa hasil yang baik?
Yang tersisa hanya kenangan, perasaan yang tiada habisnya. Tiada lagi pertanyaan, "mengapa harus dia?". Pertanyaan itu runtuh seketika. Kita. Kita menemukan jawaban masing-masing.
Kamu tau. Disini. Dihati. Masih ada kamu. Aku masih ingat semua kata-kata itu. Masih sangat menyakitkan karena realita tidak begitu. Jika kamu tidak mengatakan hal itu. Mungkin tidak akan sesakit ini.
Lucu ya. Selalu ada aja bunyi gema untuk saling meninggalkan. Pesan untuk saling pergi. Apa kita benar-benar melangkah ke arah yang berlawanan? Bukankah kita sudah sepakat untuk berdampingan. 🥺
Aku kira rumah. Ternyata.. Badai. Kita, sekarang, dituntut untuk ikhlas kan. Tetap pada porsi masing-masing. Sama-sama bergerak untuk apa gatau. Yang penting masih sama-sama hidup.
Bee, aku, aku takut. Jika memang sudah usai, aku, aku gabisa. Berkali-kali aku paksa untuk lepasin hati. Gabisa. Masih tetep sama. I still love you. But i hate you.
Aku tahu, aku tahu. Di dunia ini bukan hanya permasalahan hati. Aku paham. Tapi setiap aku melangkah, setiap aku mencoba bahagia. Tetap gabisa. Bahagiaku ada di kamu. Sama kamu.🥺
Terdengar menyebalkan jika harus jujur. Terdengar bertele-tele karena tiada habisnya. Tapi itu nyatanya. Aku tidak mengada-ada. You, still here, in my heart. Cause we are one heart.
Comments
Post a Comment